Film Dua Garis Biru : Bukan Sekedar Kehidupan Percintaan Remaja SMA


Pertama kali liat poster film ini, bertanya-tanya kenapa namanya Dua Garis Biru? Lalu, foto yang ditampilkan sepasang remaja usia SMA dengan kepala di tutupi selimut. Bisa dibilang ini topik umum yang diangkat. Kisah percintaan remaja SMA yang sebetulnya tidak sesederhana kelihatannya. Film ini cukup membuat aku berkali-kali serasa tertampar. Sangat jleb mendengar dengar dialog-dialog yang diberikan. Walaupun ide yang diangkat terkesan simple, nyatanya film ini sungguh kompleks. Bahkan merasa kok film ini penuh sekali ya. Alur ceritanya kenapa begitu "berat" untuk dinikmati.

Lantas, dari film ini kita diajak untuk berpikir. Bukan sekedar menikmati. Diajak untuk meresapi, bukan sekedar menonton. Saat menonton pun seakan tersihir dan merasa "Benar juga ya."
Singkatnya cerita ini mengangkat kisah Dara dan Bima, sepasang remaja SMA yang berpacaran. Suatu hari, sepulangnya dari sekolah, Bima mampir ke rumah Dara. Mereka saling bercanda dan mulai kelewat batas. Akhirnya mereka melakukan hubungan intim. Kisah berlanjut dengan kenyataan bahwa Dara hamil dan mereka berdua berniat untuk menyembunyikan kehamilan tersebut. Namun, akhirnya ketahuan juga oleh kedua orangtua mereka.

Dara dan Bima lantas dinikahkan oleh kedua orangtua. Alur cerita berlanjut dengan peristiwa-peristiwa yang membumbui kehidupan rumah tangga mereka. Mulai dari Bima bekerja di restauran ayah Dara, lalu Dara yang memutuskan untuk kuliah ke Korea,  rencana kedua orangtua Dara untuk memberikan cucunya ke saudara mama Dara yang belum punya anak, dsb.

Mungkin terkesan biasa saja kisah perjalanan hidup Dara dan Bima. Namun, bukan sekedar begitu saja. Walaupun peristiwa-peristiwa yang dialami umum dan bisa ditebak, emosi yang terkandung di dalamnya belum tentu bisa di tebak. Film ini membuat aku kagum sekaligus belajar tentang nilai-nilai kehidupan yang mungkin selama ini hanya berlalu begitu saja.

1. Kehamilan dini berisiko untuk ibu dan bayi

Kehamilan tentu kondisi yang butuh penanganan ekstra. Sebab, dilihat dari kondisi ibu dan juga bayinya. Usia Dara yang masih 17 tahun, memiliki peluang kehamilan berisiko yang lebih tinggi dibandingkan wanita hamil lain di usia yang matang. Karena adanya risiko tinggi inilah maka kehamilan di usia dini sangat tidak dianjurkan. Film ini menyisipkan edukasi seksualitas yang sarat akan makna. Dihimbau bahwa remaja bisa untuk memiliki pengetahuan terkait seksualitas, sehingga tidak terjerumus dalam kondisi buruk.

2. Punya anak bukan sekedar hamil 9 bulan 10 hari, namun seumur hidup

Ini merupakan salah satu dialog ibu Dara saat berbicara kepada Dara. Hal ini didasari oleh penolakan Dara jika anaknya diberikan kepada saudara mamanya. Jujur buat aku ini ngena sekali. Kondisi aku yang saat ini belum hamil, tentu ini menjadi bagian dari pelajaran bahwa punya anak bukan semata-mata hanya memiliki. Bukan semata-mata untuk menutup segala omongan orang terhadap pertanyaan "Sudah hamil belum?; " Sudah isi?"; "Kapan hamil", dst. Dialog singkat ini menunjukkan kebenaran bahwa punya anak itu berlaku seumur hidup. Bukan cuma sampai mereka menikah saja, namun seterusnya sampai kita sebagai orang tua sudah selesai di hidup ini.

Dialog singkat tersebut menjadi salah satu edukasi bahwa ketika mengingkan punya anak, maka harus siap dengan segala konsekuensinya. Bukan cuma sekedar melakukan hubungan intim dan melahirkan, namun merawat, mendidik, bahkan memberikan contoh yang baik untuk anak. Intinya punya anak butuh kesiapan mental, diluar kesiapan fisik juga yang mendukung.

3. Hubungan relasi antara orangtua dan anak
Jujur scene di UKS sekolah ketika kedua orangtua Dara dan Bima berkumpul, sehabis mereka tahu bahwa Dara hamil, itu adegan yang sangat bagus. Jujur, benar-benar ngena sekali pas adegan tersebut. Disini lah letak relasi orangtua dan anak perlu untuk dipupuk dan terus dibangun. Bukan sekedar bicara dari hati ke hati, namun mau untuk sama-sama menyadari bahwa ketika terjadi kesalahan pada anak, maka orangtua yang turut menanggung akibatnya.

Selain itu, scene Bima bicara berdua dengan ibunya, saat ibunya sedang memasukkan snack ke tiap kotak, disini juga memberikan gambaran bahwa komunikasi antar orangtua dan anak sangat diperlukan. Dialog Bima yang mengucapkan maaf kepada ibunya, dibalas dengan ibunya yang mengatakan pelan-pelan sudah memaafkan. Namun Bima juga berkata bahwa ibunya perlu untuk memaafkan dirinya sendiri.

Ya.. memaafkan diri sendiri itu juga penting.
Sebab, disini ibu Bima merasa sudah gagal menjadi orangtua. Kembali ke poin nomor 2, bahwa menjadi orangtua pelajaran seumur hidup yang perlu dijalani. Bukan merasa lucu ketika punya anak, namun butuh juga pelajaran yang terus menerus dilakukan oleh kedua orangtua. Sebab, perilaku anak tidak serta merta akan selalu sama.

Film ini penuh makna yang mendalam dari sisi kehidupan remaja, orangtua, pendidikan seksualitas, bahkan relasi pertemanan. Semua dikemas dalam satu film yang cukup kompleks dengan ide cerita sederhana. Namun, film ini memberikan warna tersendiri bagi cerita yang mengangkat ide kehamilan diluar nikah pada anak remaja. Tidak terlihat sesederhana itu, namun menyuguhkan hal-hal yang membuat kaget dan seakan berkata "Iya juga ya."

Film ini dirilis lebih dulu dibandingkan novelnya. Jika filmnya saja sudah begini bagusnya, maka novelnya pun harus lebih menarik. Secepatnya akan aku coba baca novelnya, setelah novelnya sudah di rilis. Satu yang pasti, film ini wajib di tonton dan perlu untuk dicerna tiap peristiwa yang diberikan.

No comments

Halo, salam kenal!

Terimakasih ya atas kesediaannya untuk membaca tulisan ini. Boleh ditinggalkan komennya agar kita bisa berkomunikasi satu sama lain :)

Sampai berjumpa di tulisan-tulisan berikutnya.