Gunung dan Matahari

Mengapa menggambar pemandangan harus selalu gunung dan matahari? Mengapa bentuk gunung harus selalu segitiga? Mengapa bentuk matahari harus selalu bulat?



Itu tidak adil bagiku.

*****
Aku menyukai menggambar. Bagiku menggambar merupakan hal yang membuatku melupakan sejenak perkataan orang-orang. Aku senang memegang buku gambar. Aku senang memegang pensil warna. Aku senang memegang kuas. Intinya menggambar merupakan kegiatan yang aku senangi. Sejak kecil, ibuku mengajarkan caranya menggambar. Beliau membantuku memegang pensil warna dan mencoretkannya di buku. Aku tertawa bahagia. Ibuku pun turut serta tertawa. Ya, itu hal yang menyenangkan dalam hidupku.

Bila orang tanya apa hobiku, maka dengan semangat kujawab menggambar. Macam-macam bentuk yang kugambar. Buku gambarku selalu penuh dengan coretan tangan kecilku. Sampai ibu selalu memberikan buku yang baru. Sudah bertumpuk buku gambarku. Semuanya penuh dengan hasil karya tanganku. Ah, senangnya melihat itu semua.

"Dana, sedang apa kamu?" Ibu bertanya kepadaku.

"Bu, aku mau menggambar pemandangan."
"Wah, pemandangan apa? Coba ibu mau lihat nak."

Aku mulai mengambil pensil warna dan mencoretkannya di buku gambarku. Aku senang, ibu menemaniku. Aku mulai hanyut dan asik sendiri dengan pensil warna serta buku gambar. Beberapa menit kemudian, aku selesai menggambar. Kutunjukkan kepada ibu, hasil karyaku.

"Lihat..lihat..Ini bu hasilnya. Bagaimana menurut ibu?
"Bagus sekali nak. Coba ceritakan apa yang kamu gambar?"
"Ini gambar rumput bu. Lalu, ada jalan lurus, buat orang-orang berjalan bu. Trus, disana tumbuh pepohonan yang daunnya lebat. Ah, pasti terasa sejuk sekali bu. Nah, diujung sana terdapat gunung yang besar sekali... Oh ya bu, karena hari masih siang, jadi aku menggambar matahari juga."

Plok..Plok..Plok..

Kudengar ibu bertepuk tangan.

Sambil mengusap kepalaku, ibu berkata "Hebat kamu nak. Gambar kamu lengkap sekali. Sesuai dengan pemandangan yang kita lihat minggu lalu." Kemudian, ibu mengecup dahiku.
Aku senang.. Aku merasa apa yang aku lihat bisa aku tuangkan dalam gambar.

*****

"Dana, main yuk.."
"Mau main apa?" Kutanya kepada Nita. Nita adalah teman baikku. Kami besar bersama. Kami seumuran dan tinggal bersebelahan. Sejak kecil, Nita menjadi teman yang selalu mau bermain denganku. Dia tidak peduli kata orang-orang yang mengataiku.

Ya, sejak kecil banyak orang yang mengataiku. Banyak orang yang mengolok-olokku. Aku selalu bertanya pada ibu dan Nita, mengapa mereka mengataiku. Memangnya aku salah apa sama mereka? Setiap aku bertanya seperti itu, kudengar ibu menangis. Pelan, tapi aku bisa mendengar suara tangisan ibu. Aku bingung. Didepanku, kulihat ibu menangis. Aku bingung harus seperti apa. Mengapa ibu menangis? Mengapa ibu diam saja dan tidak memarahi orang-orang yang mengataiku?

Jika aku bertanya Nita, Nita memilih untuk diam. Ia selalu diam dan tidak mau memberikan jawaban apapun. Aku bingung. Ada apa dengan mereka? Mengapa aku tidak diberikan jawaban. Apa mereka takut aku tersinggung?

"Eh..kamu habis gambar apa Dan?" Nita malah bertanya setelah melihat buku dan peralatan gambar yang belum aku bereskan.
"Ohh...ini.. Aku habis gambar pemandangan. Minggu lalu kan aku habis pergi ke Puncak. Lalu, aku coba gambar dari apa yang aku lihat disana." Jawabku menjelaskan kepada Nita.
"Wah... coba aku lihat kamu gambar apa saja."

Nita pun mengambil buku gambarku. Hening di sekitar kami. Tiba-tiba, kudengar Nadia berteriak.

"Buku gambar siapa ini?"

Aku tidak suka bila mendengar suara nadia. Suara itu membuatku kesal. Setiap ia melihat hasil karyaku, selalu ia berkomentar karena gambarnya tidak sesuai dengan dirinya. Menurutnya, gambar ia adalah yang benar. Karena sesuai dengan yang diberitahukan oleh Pak Guru di sekolah. Sedangkan gambarku selalu salah dan tidak jelas.

"Bukuku Nad." Kujawab pertanyaan dia.

"Coba lihat, kamu gambar apa?

Nadia mengambil buku gambarku dari tangan Nita. Hening beberapa saat, sampai ia..

"Ya ampun Dana... Kamu gambar apa sih? Kok coret-coretan tidak jelas begini. Kalau kaya gini, semua orang juga bingung ini gambar apa. "

Tuh kan, benar kataku. Nadia kembali berkomentar buruk mengenai hasil gambarku.

"Aku gambar pemandangan Nad. Ada gunung, matahari, rumput, dan pepohonan."

"Hah? Pemandangan? Dimana gambar pemandangannya? Ini coret-coretan tidak jelas gitu. Mana gambar gunung atau mataharinya? Gunung itu bentuknya segitiga, Dan. Matahari itu bentuknya bulat. Kamu tidak menggambar bentuk itu."

Aku terdiam... Nita pun terdiam.. Hanya terdengar suara tawa dari Nadia.

"Menggambar itu kreasi masing-masing orang Nad. Kalau Dana mau menggambar pemandangan seperti itu, ya.. itu kreatifitasnya Dana. Kamu tidak boleh menyamakan dengan yang lain." Aku lega..Nita membelaku.

"Tapi Nit. Kita kan diajarkan kalau gunung itu bentuknya segitiga. Matahari itu bulat. Lah, ini gambar Dana tidak ada satupun yang seperti itu. Berarti ini bukan gambar pemandangan donk.

Nadia tidak mau kalah dan membantah perkataan Nita.

"Ini hasil gambarku Nad. Kamu tidak perlu mencelaku. Aku memang tidak bisa melihat. Tapi aku bisa membayangkan pemandangan yang ada di gambarku. Pemandangan yang sesuai imajinasiku."

Aku, Dana... Sih anak yang tidak bisa melihat. Ya, aku terlahir dalam kondisi buta.

1 comment

  1. Ini kisah yang sungguh bagus,yang dengan cara sederhana berhasil meneyentuh hati saya.

    ReplyDelete

Halo, salam kenal!

Terimakasih ya atas kesediaannya untuk membaca tulisan ini. Boleh ditinggalkan komennya agar kita bisa berkomunikasi satu sama lain :)

Sampai berjumpa di tulisan-tulisan berikutnya.