Salah satu cara yang saya lakukan untuk mengatasi kedukaan atas meninggalnya Baby E adalah mengikuti serangkaian kelas seputar Preparing for Parenthood. Semata-mata kegiatan ini membuat saya bisa semakin mengenali peran yang seharusnya sedang saya jalani. Apa daya untuk saat ini memang belum bisa dilakukan. Kegiatan menghadapi kedukaan ini terbilang cukup membuat saya nyaman. Walaupun pada bilang bahwa menjadi orangtua tidak semudah membaca teori. Memang betul, toh kita sebagai anak juga tidak selalu sesuai teori perkembangan yang seharusnya. Ada hal-hal yang membuat kita berkembang dan tidak selalu sesuai teori yang ada.
Saya mengikuti kelas parenting dari Tiga Generasi. Pembahasan minggu pertama seputar inner child. Sebetulnya topik ini sepertinya sedang naik daun, sebab sering melihat dan membaca tulisan orang lain. Inner child merupakan aspek kekanakan yang tidak di sadari dan muncul kembali ketika berada dalam situasi yang tidak nyaman. Bahkan Coffee Lady sudah membahas dengan lengkap di blognya. Nah, kelas pertama ini kami diajarkan seputar inner child yang bisa mempengaruhi saat menjadi orangtua. Ternyata penting loh untuk kita mengenal inner child yang ada dan berusaha untuk berkomunikasi jika memang ada hal yang tidak tepat. Sebab, jika kita terus menerus memedamnya, nanti akan menjadi bom waktu yang meledak setelah kita dewasa.
Inner child yang negatif bisa di picu karena adanya trauma masa kecil. Perlu untuk kita mengenali dan melepaskan emosi negatif yang ada (yang ditekan, dipendam, atau bahkan sebelumnya tidak disadari). Kemudian kita perlu juga untuk mengenali kebutuhan diri yang belum terpenuhi. Diri yang dewasa saat ini mencoba untuk kasih kesempatan dalam merawat diri agar lebih baik di bandingkan saat masih kanak-kanak. Perlu juga untuk kita mengatasi pola perilaku atau pola pikir yang tidak efektif. Semua ini menjadi penting dalam memahami konsep inner child.
Jika memang merasakan bahwa inner child sedang dalam kondisi bermasalah, cobalah untuk memeluk diri sendiri dan memposisikan diri dewasa menjadi orangtua yang merangkul diri kanak-kanak. Jadi bayangkan bahwa kita adalah orangtua untuk diri sendiri diwaktu dulu saat menjadi anak. Belajarlah untuk menerima bahwa apa yang sudah di lakukan orangtua pada waktu kita masih kecil. Jika ada hal-hal yang tidak disukai atas sikap dan perilaku orangtua, terimalah itu. Lalu perbaiki dengan memberikan kepada diri sendiri apa yang belum kalian terima saat masih kecil.
Belajar mengenali inner child ternyata berpengaruh saat nantinya kita menjadi orangtua. Sebab, dengan memahami inner child maka kita mengetahui apakah kebutuhan diri sudah tercukupi. Kemudia bisa menenangkan dan mengelola emosi sendiri, berempati juga terhadap pasangan, bisa mengkomunikasi kepada pasangan apa yang kita butuhkan, bahkan mencintai diri sendiri dengan lebih sehat.
Ketika menikah, tentu proses perjalanan semakin berat. Jika ada yang mengatakan bahwa semua bisa diselesaikan dengan menikah, ya.. memang bisa. Asalkan kalian dan pasangan saling kerjasama. Adanya komentar dan pengamatan yang saya lakukan, bahwa setelah menikah dan punya anak, masalah baru akan muncul dan belum tentu mudah diselesaikan. Komunikasi bisa semakin berkurang, romantisme berdua juga berkurang, waktu bersosialisasi dengan teman semakin terbatas, dan perlu menanggapi komentar-komentar netizen seputar pola asuh terhadap anak. Semua bisa numpuk menjadi masalah dan beban berat di punggung.
Ibarat kita membawa tas, maka tas akan semakin penuh dan berat. Psikolog Tiga Generasi mengatakan bahwa ketika punya anak, maka kita dan pasangan ibarat sedang jalan-jalan. Jalan-jalan berarti membawa bawaan seperti tas. Jalan-jalan membuat kita menjelajahi hal-hal baru yang sebelumnya tidak diketahui. Maka penting untuk mengetahui apa saja yang perlu diperhatikan saat menjelajah. JELAJAH menurut Kak Fathya (Psikolog Anak Tiga Generasi), JELAJAH terdiri dari Jadi diri sendiri, Empati, Latihan, Amati, Jejak bumi, Ambil hikmahnya, Hadapi.
Jadi diri sendiri berhubungan dengan inner child. Jika kita sudah mengenali inner child, tentu akan membuat kita menjadi diri sendiri. Empati berhubungan antara kita dan pasangan. Jika pasangan lelah, maka kita membantunya. Jika kita lelah, maka komunikasikan dengan pasangan agar tidak timbul perdebatan. Latihan berhubungan dengan komunikasi verbal dan non verbal. Tidak selalu pasangan bisa memahami kode-kode yang kita sampaikan. Maka informasikan dengan lugas apa yang kita maksud. Selain itu, perlu juga mendengarkan pasangan tanpa mengomentari yang negatif. Amati membuat kita bisa melihat masalah dengan seksama. Kemudian memberikan ruang bagi kita untuk tenang sebelum merespon. Amati berhubungan dengan melihat situasi yang dihadapi, emosi yang dirasakan, dan apa yang dipikirkan. Jejak bumi adalah ekspektasi yang kita buat. Perlu mengatur ekspektasi agar tidak menimbulkan masalah. Misalnya setelah punya anak dan masih bayi, atur eskpektasi bahwa rumah bisa tidak rapih dan itu bukanlah masalah besar. Ambil hikmahnya adalah apa yang terjadi memang bisa tidak sesuai harapan dan inilah proses yang perlu dijalani. Kemudian Hadapi dan saling kompak sebagai pasangan.
Inilah hal yang saya dapatkan ketika mengikuti kelas Preparing for Parenthood dari Tiga Generasi. Sungguh menarik dan menjadi terbuka serta menambah wawasan. Ternyata menjadi orangtua memang betul tugas seumur hidup. Pantas saja rangkaian kelas seputar menjadi orangtua sudah terlampau banyak untuk saat ini. Ini hanyalah sekilas tentang pengertian dan teori. Prakteknya tentu butuh fleksibel dan menyesuaikan apa yang ada. Teori hanyalah acuan untuk membantu kita ketika tersesat dan hilang arah.
Fiuhh... untuk naik level kehidupan, tugasnya semakin berat namun ya tetap perlu di lalui. Semangat untuk teman-teman yang belum menjadi orangtua, sebentar lagi akan menjadi orangtua, dan sudah menjadi orangtua 💪💪
Cover: Canva, edit by me
Aku aja, sampe skr msh belum menemukan cara pas untuk menjadi orang tua yg baik. Pas si Kaka lahir, aku struggling gimana cara menghadapi dia, melatih dll. Eh pas udah Nemu, dan si adek lahir, cara yg td ga bisa diterapi ke si adek Krn wataknya beda :D. Cari lagi cara yg lebih cocok.
ReplyDeleteJadi bener sih, ga akan pernah berakhir latihan untuk jd ortu ini. Aku terbiasa bikin target tinggi dulu. Tapi setelah melihat kenyataan, kayaknya ga ush muluk2 laah :p. Drpd aku stress sendiri yg ada. Jadi lebih bisa Nerima kalo memang target nya blm bisa tercapai saat itu, apalagi kalo udh berhubungan Ama anak2 :).
Iya.. aku pun pernah dengar katanya antar anak bisa beda-beda. Tiap anak emang unik sih yaa kak hhhe..
DeletePantes ya kak banyak materi seputar parenting. Ini kayanya proses belajar seumur hidup deehh.. Betull... bikin target semampunya dulu deh kak, jangan terlalu tinggi. Nanti kalau ga kecapai jadi sakit hati sendiri 🤣
Semangat untuk kakak sebagai seorang ibu hebat. Semoga menemukan cara yang tepat untuk mengasuh anak-anaknya yaaa..