Perbandingan vs Dibandingkan

 


Perbandingan vs Dibandingkan


Hari ini Si Dede datang ke tempat saya dengan muka mumet. Saat ini dia sedang mengerjakan thesis untuk syarat kelulusan S2-nya. Kemarin dia sempat kirim Bab 1 miliknya dan minta saya untuk berikan feedback. Tadi dia mengeluh mengenai dosen pembimbing S2-nya. Bahkan dia juga ngoceh-ngoceh mengapa kali ini lebih berat ketimbang mengerjakan skripsi. Alhasil, saya kembali membaca perihal latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian. Serasa kembali kuliah ke S2, padahal ini bukanlah thesis milik saya. 

Kami jadi membahas seputar pengalaman masing-masing saat kuliah. Kebetulan saat S1 kami kuliah di tempat yang sama, namun saat S2 kami berbeda universitas. Fakultas kami saat S1 cukup berbeda, saya mengambil Psikologi dan dia mengambil Teknik Industri. Saat S2, fakultas dan penjurusan kami sama, yaitu Manajemen bagian Pemasaran. Obrolan mulai beralih menjadi saling membandingkan dan terkesan dibandingkan. Saya memang senang menulis, berbeda dengan Si Dede yang lebih suka berbicara. Makanya, bagian menulis skripsi dan thesis menjadi momok besar untuk dirinya. Saat membaca thesis saya, sungguh dia kaget karena saya bisa menulis seperti itu dan dalam jumlah halaman yang banyak. Dia merasa untuk menulis bab 1 saja sudah butuh usaha yang ekstra.

Kembali muncul perkataan bahwa saya pintar dan dia tidak pintar. Sejak dulu memang dia merasa bahwa saya lebih pintar ketimbang dirinya. Padahal kami berasal dari orangtua yang sama. Jadi gen dalam tubuh kami juga pasti sama. Saya menemukan bahwa kami berdua memang cukup berbeda. Jika saya suka membaca, dia lebih sibuk bertanya ketimbang mencari sendiri jawabannya. Padahal jelas-jelas jawaban tersebut bisa di temukan di buku atau internet. Ya.. Si Dede memang kurang suka membaca juga.

Thesis membuat dia perlu untuk membaca dan menulis. Dua hal yang sebetulnya kurang dia sukai tapi saat ini sedang dihadapi. Terkadang saya cukup heran dengan keputusannya untuk kembali kuliah. Di satu sisi merasa senang karena dia mampu keluar dari zona nyaman. Di sisi lain merasa ikutan pusing, karena ujung-ujungnya dia akan bingung dan stres sendiri. Jadilah hari ini saya kembali berkutat dengan thesis. Satu tahun berlalu sejak lulus kuliah, tentu membangun niat untuk membaca jurnal dan buku bukanlah hal mudah. Minat baca novel saja saat ini mulai berkurang, terbukti dengan lamanya durasi dalam membaca satu buku. Apalagi dengan membaca jurnal, langsung bikin saya menguap dan mengantuk 🤣 Berada dalam posisi belajar lagi tentu butuh motivasi sebab pernah mengalami keadaan tersebut membuat saya tidak ingin mengulangnya lagi.

Kondisi ini erat kaitannya dengan perbandingan atau di bandingkan. Saya membuat perbandingan bahwa tahun lalu masih semangat untuk belajar dan mengerjakan thesis. Tahun ini merasa sudah nyaman dengan rasa santai karena sudah lulus. Saya juga membandingkan dengan diri Si Dede yang sedang berjuang menyelesaikan thesisnya. Tentu perbandingan dan dibandingkan seperti dua hal yang tidak lepas dalam keseharian. Bagaimana kita membandingkan diri dengan orang lain. Bagaimana kita di bandingkan dengan orang lain. Walaupun perbandingan tersebut tidak selalu berarti negatif. Namun, pikiran yang terbentuk seolah-olah menimbulkan perselisihan dan tentunya perlombaan. Jika dia bisa, maka saya juga bisa. Sebetulnya kalimat tersebut bisa menjadi motivasi, asal diambil sisi positifnya.

Saat menulis ini tiba-tiba terpikir mie instan yang beli di warkop dan mie instan yang bikin sendiri. Entah kenapa ketika beli, rasanya lebih enak dibandingkan saat bikin sendiri. Bahkan es coklat yang dibeli akan lebih enak daripada bikin sendiri. Jelas-jelas bahannya sama, komposisi airnya juga sama, namun kenapa rasanya tetap beda. Misteri yang belum bisa saya temukan jawabannya. Apakah ada yang berpikiran seperti saya? 😂 Hal sesederhana makanan dan minuman saja bisa saling dibandingkan. Bahkan dari merk makanan dan minuman juga bisa menjadi perbandingan untuk kita memilihnya. 

Sekarang dan dulu memang berbeda. Bukan karena kita yang salah, namun terjadi perubahan dan pengembangan diri. Waktu yang ada juga tentulah berbeda. Rutinitas dan tanggung jawab juga berbeda. Kondisi yang dialami juga berbeda. Jika tahun lalu saya berstatus mahasiswa, tentu berada dalam kondisi yang membuat diri ini perlu menyelesaikan kewajiban. Saya perlu mengerjakan dan menyelesaikan thesis. Saat ini, saya berada dalam kondisi yang melihat adik sebagai mahasiswa. Tentu karena bukan tanggung jawab saya, maka merasa bukan kewajiban untuk ikut mengerjakan. Namun, bukan berarti saya tidak membantu. Hanya saja perbandingan yang terjadi seringkali karena kita berada dalam kondisi yang sudah berbeda. 

Seperti halnya makan mie instan dan minum es coklat di warkop dan bikin sendiri. Saat membeli, kita berada dalam situasi di luar rumah dengan kondisi ingin menikmati pesanan yang dipilih. Bahkan bisa saja kita berasama orang yang membuat nyaman. Timbulah rasa senang dan menikmati setiap kondisi yang terjadi. Saat di rumah, tentu butuh usaha sendiri untuk membuatnya dan juga membersihkannya. Maka, merasa itu menjadi "beban" yang sebetulnya terjadi karena kita ingin melakukannya. Makanya ketika buat sendiri di rumah merasa ada rasa yang kurang, karena suasana dan kondisi yang jelas berbeda. Btw benar tidak ya dugaan saya ini? 🤣  Apa kalian merasa suka dibandingkan atau membuat perbandingan?


Cover: Canva


Devina Genesia


12 comments

  1. halo kak Dev..

    aku juga sukanya baca dan mencari jawaban sendiri, kecuali kalo memang udah stuck nggak dapet jawabannya, hihi..

    mie instan bikinan ibu kantin kampus memang lebih enak daripada bikinan sendiri, ini sih pemikiran ku sejak dulu kak Dev, kok bisa gitu ya, wkwk..

    Dan ternyata itu karena kita terlalu banyak membandingkan ya, i see i see :D

    Makasih untuk sharingnya ya kak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa... aku pun juga ngerasa bikinan orang lain lebih enak daripada diri sendiri. Sepertinya memang kita terlalu membandingkan Kak, jadi terkesan selalu kurang.

      Sama-sama, makasih juga sudah berbagi disini yaa Kak 😊

      Delete
  2. Kalo kata Einstein sih, jika ikan diukur dari cara dia memanjat dia akan merasa bodoh seumur hidup. Nah, tapi pertanyaannya adik kak Devina ini memang ngga suka baca atau tidak interest dengan jurusannya?

    Kalau masalah perbandingan, antar manusia itu tidak punya ukuran sekalipun saudara menurut saya. Manusia itu unik sebagai individu. Bahkan, kembar saja tidan persis sama. Makanya, saya paling anti jika dibandingkan dengan saudara oleh Mama ataupun keluarga. Selain karena malu, itu akan membuat jarak antara saya dengan mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dia emang lebih suka mendengarkan daripada membaca, Mas. Anaknya termasuk audio banget daripada visual. Jadi daripada baca, dia lebih seneng dengerin orang jelasin ke dia. Dia interest sama jurusannya karena itu emang pilihan dia. Cuma metode belajarnya aja yang cukup unik.

      Iyaa setujus Mas. Emang bisa menimbulkan efek negatif jika dibandingkan. Padahal emang berbeda satu sama lain yaa.. Makasih atas sharingnya Mas Rahul 😊

      Delete
  3. Iya misteri mie instant memang membingungkan ya mbak Devina 😂

    Membandingkan dan dibandingkan itu bisa menjadi toxic kalau diambil negatifnya dan konteksnya yang tidak tepat, termasuk menbandingkan diri sendiri.
    Menarik sekali topik ini mbak, terima kasih sudah sharing <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener kak, blom terpercahkan 🤣

      Iyaaa jadi toxic yg ga akan kelar-kelar. Karena macem lingkaran yg ga pernah putus dan bisa terus berulang.

      Sama sama kak. Makasih jugaa uda mampir kesini 😁

      Delete
  4. Soal mie instant di warung kenapa lebih enak daripada bikin sendiri itu juga misteri buatku, Dev 😆 denger-denger sih katanya kalau di warung itu mienya direbus tanpa diaduk-aduk, jadinya lebih enak wkwkwk

    Eniwei, soal banding membandingkan ini nggak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Balik lagi karena preferensi orang beraneka ragam dan kalau bicara soal kepribadian pun juga berbeda. Kurang adil memang kalau kita menilai sesuatu hanya dari kacamata sendiri tanpa melihat kondisi dan keberadaan yang ada, dan ini sering terjadi olehku saat meihat kehidupan orang lain IRL maupun sosmed 😂

    Btw, tisam buat adikmu, good luck yaa untuk thesisnya! Semoga bisa lulus dengan nilai yang baik :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya gitu ci, tapi pas coba di rumah masak dengan cara begitu kok tetap kurang nikmat yaa 🤣🤣

      Iyaaa saking beraneka ragamnya jadi bisa muncul beragam pendapat yg tentunya beda-beda. Ada medsos juga bisa jadi bumerang karena penilaian subjektif. Btw, makasih insight nyaa yaa ci. Jadi aku sadar bahwa adanya preferensi orang emang bisa nimbulin perbandingan.

      Amin. Makasih yaa ci atas supportnyaaa 😁

      Delete
  5. Sebenarnya membandingkan dan dibandingkan itu hal yang wajar ya Kak, karena pasti manusia nggak ada habisnya untuk mencari sesuatu yang lebih worth dan lebih baik. Cuma yang kadang suka jadi masalah adalah ketika membandingkan dan dibandingkan dengan cara yang berlebihan... sehingga jadinya membuat masalah baru dan menyakiti hati.

    Harus pintar-pintar juga ya Kak, kalau sudah dibandingkan begitu sama adik sendiri. Aku juga sering merasakannya, karena biasanya dia yang ngebanding-bandingin dirinya sama aku terus dia malah sedih hahaha. Padahal udah jelas-jelas bakat dan minat kita beda.

    Semoga berhasil ya thesisnya, adiknya kak Devina :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang yg berlebihan itu ga baik yaaa 🤦 harus sesuai sama porsinya.

      Nah, setuju sama kamu karwna bakat dan minat beda. Otomatis ga bisa begitu aja di bandingkan.

      Amin. Makasih yaa atas supportnya 😁

      Delete
  6. iya mbak aku juga kadang mikir begitu juga, kenapa mie goreng kalau dibuatin kok rasanya enak dan kalo bikin sendiri kok B aja, padahal merk sama.
    aku sendiri heran kok bisa mikir begini, atau asal nyeletuk aja.
    mungkin waktu makan mie buatan orang lain, kondisi perut lagi pengen banget makan mie, jadi terasa nikmat aja hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener Mba, bisa aja begitu. Jadi mau makan apapun rasanya enak. Padahal sebetulnya kalau masak di rumah dan bikin sendiri tetap aja rasanya begitu hhhe..

      Delete

Halo, salam kenal!

Terimakasih ya atas kesediaannya untuk membaca tulisan ini. Boleh ditinggalkan komennya agar kita bisa berkomunikasi satu sama lain :)

Sampai berjumpa di tulisan-tulisan berikutnya.